Nama aslinya adalah An-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi At-Taimi Al-Kufi. Asalnya dari Persia. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H, dan sempat hidup sezaman dengan beberapa sahabat, tepatnya empat sahabat, yaitu: Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad As-Sa’idi, dan Amr bin Watsilah radhiallahu ‘anhum. Ada yang mengatakan bahwa beliau tidak sempat berjumpa dengan seorang pun sahabat. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau pernah berjumpa dengan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dan mendapatkan hadis “menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Jika keterangan bahwa beliau pernah bertemu dengan sahabat Anas ini benar, berarti beliau termasuk tabiin.
Beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hadis dan pencarian ilmu. Di antara guru beliau adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Beliau belajar kepada Imam Hammad selama delapan belas tahun. Sampai Imam Hammad mengatakan, “Abu Hanifah telah menghabiskan ilmuku.”
Abu Hanifah (80-150 H) lahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Tsabit, pedagang sutra yang masuk Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Kakek Abu Hanifah, Zuthi, adalah tawanan pasukan muslim saat menaklukan Irak. Setelah dibebaskan, Zuthi mendapatkan hidayah dan masuk Islam.
Semasa hidupnya, Zuthi menjalin hubungan baik dengan Ali bin Abu Thalib, sahabat Nabi yang menetap di Kufah. Hubungan baik ini kemudian diteruskan oleh anaknya, Tsabit. Bahkan dikisahkan, Ali bin Abu Thalib mendoakan keturunan Tsabit agar selalu diberkahi Allah SWT.
Tidak lama kemudian, Abu Hanifah lahir. Dia tumbuh seperti halnya anak kecil pada umumnya. Sejak kecil dia sudah hafal al-Qur'an dan menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengulangi hafalan agar tidak lupa. Pada bulan Ramadan, Abu Hanifah bisa mengkhatamkan al-Qur'an berkali-kali berkat hafalannya.
Abu Hanifah awalnya tidak terlalu serius belajar agama. Belajar agama hanyalah sambilan, bukan tujuan utama. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang di pasar. Maklum, beliau memang keturunan pedagang. Keseriusannya belajar agama timbul setelah bertemu al-Sya'bi, seorang ulama besar saat itu.
Al-Sya'bi menyarankan agar Abu Hanifah memperdalam ilmu agama dan mengikuti halaqah (pengajian) para ulama. "Kamu wajib memperdalam ilmu dan mengikuti halaqah para ulama. Karena kamu cerdas dan memiliki potensi yang sangat tinggi," tutur al-Sya'bi.
Nasihat ini sangat berbekas dalam hati Abu Hanifah. Dia menunjuk orang lain untuk mengurusi dagangannya. Sesekali dia mengontrol dan memastikan usahanya lancar. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk belajar dan menghadiri halaqah ulama.
Salah satu halaqah yang sering dihadiri Abu Hanifah adalah halaqah Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau adalah guru yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Abu Hanifah. Dia belajar selama 18 tahun kepada Hammad. Andaikan beliau tidak wafat tahun 120 H, tentu Abu Hanifah masih terus belajar kepadanya. Setelah Hammad meninggal, Abu Hanifah diminta mengisi halaqah keagamaan di Kufah.
Maraknya kajian filsafat ini berdampak terhadap berkembangnya kajian ilmu kalam (teologis) dalam Islam. Para intelektual muslim saat itu lebih banyak memperdalam ilmu kalam, logika, dan debat (jidal). Ketiga ilmu ini harus dikuasai untuk merespons pertanyaan dan permasalahan teologis yang dilontarkan oleh para filsuf.
Abu Hanifah pada mulanya memperdalam ilmu kalam. Beliau turut serta meramaikan perdebatan teologis pada waktu itu. Kitab Fiqhul Akbar menjadi bukti kepiawaian Abu Hanifah dalam ilmu kalam. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa ilmu ini tidak ada manfaatnya dan tidak berdampak terhadap generasi berikutnya.
Dalam pandangan beliau, ilmu fikih adalah ilmu yang paling bermanfaat dan sangat berguna bagi masyarakat. Sejak itu, Abu Hanifah mulai memperdalam ilmu fikih dan belajar langsung kepada ulama yang ahli di bidang fikih di Irak.
Abu Hanifah termasuk ulama yang terbuka. Dia mau belajar dengan siapapun. Sejarah menunjukan bahwa beliau pernah belajar dengan tokoh muktazilah dan Syi'ah. Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sekalipun pernah belajar dengan pembesar Syi'ah, Abu Hanifah tidak pernah mencaci-maki dan menjelekkan sahabat Nabi.
Sa'id bin Abi 'Arubah (w. 156 H) mengatakan, "Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah".
Keterbukaan Abu Hanifah terhadap berbagai macam aliran ini tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial keagamaan yang mengitari hidupnya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural dan beragam. Di sana tumbuh berbagai macam aliran keagamaan dan keilmuan. Ada Syi'ah, Muktazilah, dan Khawarij.
Karena sudah terbiasa hidup dengan kelompok yang berbeda, Abu Hanifah selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu menjaga adab dan tutur kata ketika berhadapan dengan masyarakat, terutama orang yang berilmu. Pesan ini selalu disampaikan agar masyarakat bisa dekat dan tidak resah dengan pendapat yang disampaikan.
Abu Hanifah menyatakan, "Kalau kalian berada di tengah masyarakat dan dihadapkan sebuah permasalahan, jawablah sesuai dengan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, baru kemukakan pendapat pribadimu beserta argumentasinya".
Mengetahui aliran dan mazhab yang berkembang dalam sebuah masyarakat sangatlah penting, supaya bijak dalam berpendapat. Jangan sampai memaksakan pendapat pribadi terhadap masyarakat yang juga memiliki pandangan keagamaan tersendiri. Misalnya, kalau berada di tengah masyarakat mayoritas madzhab Syafi'i, jangan paksakan pendapat Mazhab Hanafi. Begitu pun sebaliknya.
Abu Hanifah pernah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan Abasiyah. Beliau memiliki pengalaman hidup di bawah kekuasaan Umawiyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abasiyah.
Saat Bani Umawiyah menguasai Irak, Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim oleh Ibnu Hubayrah, penguasa Irak saat itu. Tapi, Abu Hanifah menolak. Beliau tidak mau menjadi hakim pemerintahan Umawiyah.
Ibnu Hubayrah tetap memaksa Abu Hanifah dan mengancam jika tak dipenuhi keinginannya. Abu Hanifah tetap tegar dengan pendiriannya, sehingga dia dihukum cambuk dan dipenjarakan. Saking kuatnya pendirian Abu Hanifah, bekas cambukan itu tidak membuat hatinya luntur dan sedih. Malahan, tukang cambuknya letih sendiri dan merasa kasihan dengan kondisi Abu Hanifah. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah dibebaskan.
Setelah Dinasti Umawiyah digantikan Abasiyah, penguasa Abasiyah menawarkan jabatan serupa kepada Abu Hanifah. Khalifah Abu Ja'far langsung menemui dan memintanya menjadi hakim. Abu Hanifah tetap seperti semula. Dia menolak jabatan itu.
Abu Ja'far pun marah dan menghukum Abu Hanifah. Dia dipenjara dan dicambuk berkali-kali. Ada yang mengatakan, Abu Hanifah dicambuk 10 kali tiap hari. Kondisi Abu Hanifah makin lama menyedihkan. Dia dikeluarkan dari penjara dan dilarang mengajar dan berfatwa. Tidak lama setelah dikeluarkan dari penjara, Abu Hanifah dipanggil Sang Pencipta.
Abu Hanifah meninggal tahun 150 H, pada tahun itu pula pendiri Mazhab Syafi'i, Muhammad bin Idris al-Syafi'i, lahir. Ribuan orang mengantarkan Abu Hanifah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Konon ada sekitar 50 ribu orang yang ikut mensalati Abu Hanifah, termasuk Khalifah Abu Ja'far. (drs)
Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas, dan tajam wawasannya.
Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?”
Sebagai bukti, ada seorang laki-laki dari Kufah yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan Anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” Beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja dari yang Anda sebutkan itu sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya: “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan keras, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”
Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Astaghfirullah, Aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucapkan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”
Contoh lain, ada seorang Khawarij bernama adh-Dhahak asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata,
Adh-Dhahak: “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”
Abu Hanifah: “Bertaubat dari apa?”
Ad-Dhahak: “Dari pendapat Anda yang membenarkan diadakannya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu Hanifah: “Maukah Anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?”
Adh-Dhahak: “Baiklah, saya bersedia.”
Abu Hanifah: “Bila kita nanti berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”
Adh-Dhahak: “Pilihlah sesuka Anda.”
Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah: “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya:) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”
Adh-Dhahak: “Ya saya rela.”
Abu Hanifah: “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertahkim?”
Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.
Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata,
Jahm: “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”
Abu Hanifah: “Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”
Jahm: “Bagaimana bisa Anda memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?”
Abu Hanifah: “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).”
Jahm: “Anda menghakimi saya secara sepihak?”
Abu Hanifah: “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.
Jahm: “Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan.”
Abu Hanifah: “Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada saya?”
Jahm: “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”
Abu Hanifah: “Keraguan dalam keimanan dalam kufur.”
Jahm: “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”
Abu Hanifah: “Sialakan bertanya!”
Jahm: “Telah sampai kepadaku tentang seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”
Abu Hanifah: “Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”
Jahm: “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya?”
Abu Hanifah: “Bila Anda beriman kepada Alquran dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Alquran dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”
Jahm: “Bahkan saya mengimani Alquran dan menjadikannya sebagai hujjah.”
Abu Hanifah: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu saja darinya. Kitabullah dan hadis Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?’ Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS. Al-Maidah: 83-85)
Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qb dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah: 136)
Allah menyuruh mereka untuk mengucapkan dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ucapkanlah, Laa ilaaha ilallah, niscaya kalian akan beruntung.”
Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang menganal Allah Subhanahu wa Ta’ala,”
Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukand an cukup hanya dengan sekedar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya:
“Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Kemudian:
“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)
Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka maykini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml: 140
Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Alquran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samuedera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?”
Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai Syaikh.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”
Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasi yang tepat.
Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.
Ketika wasiat tersebut terdengar oleh Amirul Mukminin al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”
Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”
Beliau memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hadis dan pencarian ilmu. Di antara guru beliau adalah Hammad bin Abi Sulaiman. Beliau belajar kepada Imam Hammad selama delapan belas tahun. Sampai Imam Hammad mengatakan, “Abu Hanifah telah menghabiskan ilmuku.”
---
Abu Hanifah (80-150 H) lahir dari keluarga pedagang. Ayahnya bernama Tsabit, pedagang sutra yang masuk Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Kakek Abu Hanifah, Zuthi, adalah tawanan pasukan muslim saat menaklukan Irak. Setelah dibebaskan, Zuthi mendapatkan hidayah dan masuk Islam.
Semasa hidupnya, Zuthi menjalin hubungan baik dengan Ali bin Abu Thalib, sahabat Nabi yang menetap di Kufah. Hubungan baik ini kemudian diteruskan oleh anaknya, Tsabit. Bahkan dikisahkan, Ali bin Abu Thalib mendoakan keturunan Tsabit agar selalu diberkahi Allah SWT.
Tidak lama kemudian, Abu Hanifah lahir. Dia tumbuh seperti halnya anak kecil pada umumnya. Sejak kecil dia sudah hafal al-Qur'an dan menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengulangi hafalan agar tidak lupa. Pada bulan Ramadan, Abu Hanifah bisa mengkhatamkan al-Qur'an berkali-kali berkat hafalannya.
Abu Hanifah awalnya tidak terlalu serius belajar agama. Belajar agama hanyalah sambilan, bukan tujuan utama. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang di pasar. Maklum, beliau memang keturunan pedagang. Keseriusannya belajar agama timbul setelah bertemu al-Sya'bi, seorang ulama besar saat itu.
Al-Sya'bi menyarankan agar Abu Hanifah memperdalam ilmu agama dan mengikuti halaqah (pengajian) para ulama. "Kamu wajib memperdalam ilmu dan mengikuti halaqah para ulama. Karena kamu cerdas dan memiliki potensi yang sangat tinggi," tutur al-Sya'bi.
Nasihat ini sangat berbekas dalam hati Abu Hanifah. Dia menunjuk orang lain untuk mengurusi dagangannya. Sesekali dia mengontrol dan memastikan usahanya lancar. Sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk belajar dan menghadiri halaqah ulama.
Salah satu halaqah yang sering dihadiri Abu Hanifah adalah halaqah Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau adalah guru yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Abu Hanifah. Dia belajar selama 18 tahun kepada Hammad. Andaikan beliau tidak wafat tahun 120 H, tentu Abu Hanifah masih terus belajar kepadanya. Setelah Hammad meninggal, Abu Hanifah diminta mengisi halaqah keagamaan di Kufah.
Pergulatan Intelektual Abu Hanifah
Sebelum Islam datang, di Irak tradisi keilmuan sudah berkembang dan peradabannya sudah mapan. Ada banyak sekolah dan tempat diskusi. Filsafat termasuk salah satu disiplin keilmuan yang cukup diminati kala itu.Maraknya kajian filsafat ini berdampak terhadap berkembangnya kajian ilmu kalam (teologis) dalam Islam. Para intelektual muslim saat itu lebih banyak memperdalam ilmu kalam, logika, dan debat (jidal). Ketiga ilmu ini harus dikuasai untuk merespons pertanyaan dan permasalahan teologis yang dilontarkan oleh para filsuf.
Abu Hanifah pada mulanya memperdalam ilmu kalam. Beliau turut serta meramaikan perdebatan teologis pada waktu itu. Kitab Fiqhul Akbar menjadi bukti kepiawaian Abu Hanifah dalam ilmu kalam. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa ilmu ini tidak ada manfaatnya dan tidak berdampak terhadap generasi berikutnya.
Dalam pandangan beliau, ilmu fikih adalah ilmu yang paling bermanfaat dan sangat berguna bagi masyarakat. Sejak itu, Abu Hanifah mulai memperdalam ilmu fikih dan belajar langsung kepada ulama yang ahli di bidang fikih di Irak.
Abu Hanifah termasuk ulama yang terbuka. Dia mau belajar dengan siapapun. Sejarah menunjukan bahwa beliau pernah belajar dengan tokoh muktazilah dan Syi'ah. Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sekalipun pernah belajar dengan pembesar Syi'ah, Abu Hanifah tidak pernah mencaci-maki dan menjelekkan sahabat Nabi.
Sa'id bin Abi 'Arubah (w. 156 H) mengatakan, "Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah".
Keterbukaan Abu Hanifah terhadap berbagai macam aliran ini tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial keagamaan yang mengitari hidupnya. Beliau hidup di tengah masyarakat yang plural dan beragam. Di sana tumbuh berbagai macam aliran keagamaan dan keilmuan. Ada Syi'ah, Muktazilah, dan Khawarij.
Karena sudah terbiasa hidup dengan kelompok yang berbeda, Abu Hanifah selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu menjaga adab dan tutur kata ketika berhadapan dengan masyarakat, terutama orang yang berilmu. Pesan ini selalu disampaikan agar masyarakat bisa dekat dan tidak resah dengan pendapat yang disampaikan.
Abu Hanifah menyatakan, "Kalau kalian berada di tengah masyarakat dan dihadapkan sebuah permasalahan, jawablah sesuai dengan pemahaman yang berkembang di masyarakat. Setelah itu, baru kemukakan pendapat pribadimu beserta argumentasinya".
Mengetahui aliran dan mazhab yang berkembang dalam sebuah masyarakat sangatlah penting, supaya bijak dalam berpendapat. Jangan sampai memaksakan pendapat pribadi terhadap masyarakat yang juga memiliki pandangan keagamaan tersendiri. Misalnya, kalau berada di tengah masyarakat mayoritas madzhab Syafi'i, jangan paksakan pendapat Mazhab Hanafi. Begitu pun sebaliknya.
Penolakan yang berujung kematian
Abu Hanifah termasuk salah satu ulama yang tidak mau menerima bantuan pemerintah. Seluruh biaya hidupnya ditanggung sendiri dan diperoleh dari hasil usaha dagangannya. Hal inilah yang membedakan Abu Hanifah dengan Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki, di mana biaya hidupnya ditanggung seluruhnya oleh baitul mal.Abu Hanifah pernah hidup dalam dua kekuasaan dinasti Islam terbesar, Umawiyah dan Abasiyah. Beliau memiliki pengalaman hidup di bawah kekuasaan Umawiyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abasiyah.
Saat Bani Umawiyah menguasai Irak, Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim oleh Ibnu Hubayrah, penguasa Irak saat itu. Tapi, Abu Hanifah menolak. Beliau tidak mau menjadi hakim pemerintahan Umawiyah.
Ibnu Hubayrah tetap memaksa Abu Hanifah dan mengancam jika tak dipenuhi keinginannya. Abu Hanifah tetap tegar dengan pendiriannya, sehingga dia dihukum cambuk dan dipenjarakan. Saking kuatnya pendirian Abu Hanifah, bekas cambukan itu tidak membuat hatinya luntur dan sedih. Malahan, tukang cambuknya letih sendiri dan merasa kasihan dengan kondisi Abu Hanifah. Tidak lama setelah itu, Abu Hanifah dibebaskan.
Setelah Dinasti Umawiyah digantikan Abasiyah, penguasa Abasiyah menawarkan jabatan serupa kepada Abu Hanifah. Khalifah Abu Ja'far langsung menemui dan memintanya menjadi hakim. Abu Hanifah tetap seperti semula. Dia menolak jabatan itu.
Abu Ja'far pun marah dan menghukum Abu Hanifah. Dia dipenjara dan dicambuk berkali-kali. Ada yang mengatakan, Abu Hanifah dicambuk 10 kali tiap hari. Kondisi Abu Hanifah makin lama menyedihkan. Dia dikeluarkan dari penjara dan dilarang mengajar dan berfatwa. Tidak lama setelah dikeluarkan dari penjara, Abu Hanifah dipanggil Sang Pencipta.
Abu Hanifah meninggal tahun 150 H, pada tahun itu pula pendiri Mazhab Syafi'i, Muhammad bin Idris al-Syafi'i, lahir. Ribuan orang mengantarkan Abu Hanifah ke tempat peristirahatan terakhirnya. Konon ada sekitar 50 ribu orang yang ikut mensalati Abu Hanifah, termasuk Khalifah Abu Ja'far. (drs)
---
Imam Abu Hanifah An-Nu’man, Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasan
Suatu ketika Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama beberapa sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukah kalian, siapa dia?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”Tidaklah dikatakan berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas, dan tajam wawasannya.
Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik: “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan adu argumentasi untuk membela kebenaran?”
Sebagai bukti, ada seorang laki-laki dari Kufah yang disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang bernama fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan Anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” Beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu rukuk dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja dari yang Anda sebutkan itu sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya: “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan keras, tapi kau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”
Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Astaghfirullah, Aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku ucapkan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”
Contoh lain, ada seorang Khawarij bernama adh-Dhahak asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata,
Adh-Dhahak: “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”
Abu Hanifah: “Bertaubat dari apa?”
Ad-Dhahak: “Dari pendapat Anda yang membenarkan diadakannya tahkim antara Ali dan Mu’awiyah.
Abu Hanifah: “Maukah Anda berdiskusi dengan saya dalam persoalan ini?”
Adh-Dhahak: “Baiklah, saya bersedia.”
Abu Hanifah: “Bila kita nanti berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”
Adh-Dhahak: “Pilihlah sesuka Anda.”
Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah: “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya:) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”
Adh-Dhahak: “Ya saya rela.”
Abu Hanifah: “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bertahkim?”
Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.
Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata,
Jahm: “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”
Abu Hanifah: “Berdialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang engkau bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”
Jahm: “Bagaimana bisa Anda memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum mendengar pendapat-pendapat saya?”
Abu Hanifah: “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).”
Jahm: “Anda menghakimi saya secara sepihak?”
Abu Hanifah: “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.
Jahm: “Saya tidak ingin membicarakan atau menanyakan apa-apa kecuali tentang keimanan.”
Abu Hanifah: “Apakah hingga saat ini kamu belum tahu juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakannya kepada saya?”
Jahm: “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”
Abu Hanifah: “Keraguan dalam keimanan dalam kufur.”
Jahm: “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”
Abu Hanifah: “Sialakan bertanya!”
Jahm: “Telah sampai kepadaku tentang seseorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”
Abu Hanifah: “Dia mati dalam keadaan kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”
Jahm: “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya?”
Abu Hanifah: “Bila Anda beriman kepada Alquran dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Alquran dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”
Jahm: “Bahkan saya mengimani Alquran dan menjadikannya sebagai hujjah.”
Abu Hanifah: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu saja darinya. Kitabullah dan hadis Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Alquran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Alquran dan kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih?’ Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (QS. Al-Maidah: 83-85)
Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qb dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’.” (QS. Al-Baqarah: 136)
Allah menyuruh mereka untuk mengucapkan dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Ucapkanlah, Laa ilaaha ilallah, niscaya kalian akan beruntung.”
Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikeluarkan dari api neraka barangsiapa yang menganal Allah Subhanahu wa Ta’ala,”
Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukand an cukup hanya dengan sekedar pengetahuan, niscaya iblis juga termasuk mukmin, sebab dia mengenal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakan dirinya, Dia pula yang menghidupkan dan mematikannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah yang menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya:
“Saya lebih baik daripadanya: “Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Kemudian:
“Berkata iblis: ‘Ya tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan’.” (QS. Al-Hijr: 36)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus’.” (QS. Al-A’raf: 16)
Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka maykini (kebenaran)nya.” (QS. An-Naml: 140
Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Alquran dan adakalanya dengan hadis-hadis. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samuedera. Gelombangnya kecil, anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapal sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tenang sehingga tiba di tujuan sesuai renana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan jalannya kapal. Masuk akalkah cerita ini?”
Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipun, wahai Syaikh.” Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendiri tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang, dan benda-benda langit serta burung yang beterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”
Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasi yang tepat.
Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghashab.
Ketika wasiat tersebut terdengar oleh Amirul Mukminin al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”
Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shaum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”